WK-Brand Logo

Minggu, 29 Juni 2014

Kegagapan Menyambut Kurikulum 2013

wk

Tidak lama lagi tahun ajaran baru periode 2014 – 2015 akan segera di tempuh, terkait dengan Penerapan kurikulum tahun 2013 yang akan di mulai tahun ini, tentu menuntut tenaga pendidik (guru) untuk lebih profesional dan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Selain menilai prestasi siswa dalam bidang akademik, guru juga diwajibkan memperhatikan siswa dari aspek kepribadian, moral, kecerdasan emosional dan lain-lain.

Kita berharap dengan penerapan kurikulum 2013 mutu tenaga pendidik menjadi lebih baik,sebab para guru akan terlibat langsung dengan siswa secara lebih mendalam, dari mulai teori dan praktek. Tentunya banyak aspek dan indikator penentu dalam proses belajar mengajar tersebut, sehungga menuntut guru lebih memahami dan berlaku profesional untuk betul betul menerapkan pendidikan karakter yang di gadang gadang selama ini.
Penerapan kurikulum 2013 menghantarkan proses penilaian guru terhadap siswa dilihat dari jiwa kreatif, inovatif, produktif dan afektif. Ketika siswa tersebut mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM). Pada dasarnya, penerapan kurikulum ini berbeda dengan pola Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP).
Perjalanan Kurikulum 2013 (K-13) meskipun diawali dengan perdebatan bahkan penolakan, pada akhirnya semua pihak, mau tidak mau harus menerima keberadaannya. Banyak pihak termasuk para guru awalnya merasa cemas atau galau akan kehadiran K-13 yang terkesan mendadak dan “dipaksakan”. Namun, dibalik kecemasan atau kegalauan para guru terselip asa dan keinginan untuk memotivasi diri menjadi pendidik yang profesional. Interes guru-guru di sekolah sasaran pengimplementasian, merasa menemukan ladang kreatifitas sebagai pendidik terutama mereka yang sudah mengikuti sosialisasi atau pelatihan K-13. Bukan hanya itu, ilmu mendidik yang dipelajari selama kuliah seolah menemukan ruang eksplorasi intelektual seorang guru dalam proses transfer pengetahuan kepada peserta didik.
Sementara itu hasil monitoring dan evaluasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui metode sensus beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa K-13 terbukti mampu meningkatkan daya nalar siswa, minat baca, semangat belajar dan mendorong siswa lebih kreatif dan inovatif. Sehingga tidak ada lagi keraguan sekolah dan guru akan keampuhan K-13 dalam menyongsong era globalisasi ini.
Namun, setahun pelaksanaan K-13 di beberapa sekolah sasaran menemui sejumlah kendala yang menjadi catatan penting menuju implementasi K-13 yang akan diterapkan secara serempak di semua jenjang sekolah di Indonesia mulai tahun ajaran 2014/2015. Catatan refleksi selama setahun sebagai dasar evaluasi untuk pemerintah melakukan langkah konstruktif demi kelancaran implementasi K-13 secara menyeluruh.
Seperti diketahui, ada sembilan mata pelajaran wajib yang dipelajari oleh siswa SMA. Selain itu, ada empat mata pelajaran pokok sesuai dengan bidang peminatannya dan dua mata pelajaran pilihan di luar bidang peminatannya. Bidang ekstrakurikuler (ekskul), siswa dapat memilih satu ekskul wajib kepramukaan dan beberapa ekskul pilihan.
Dalam catatan penulis, setahun penerapan K-13 masih banyak kegagapan sekolah (khususnya tingkat SMA) yang tampak dalam tataran aplikasi teknis di lapangan. Secara teknis, kegagapan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, kesulitan sekolah mulai tampak pada penerimaan peserta didik baru yang harus dijuruskan pada peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam, peminatan Ilmu-Ilmu Sosial atau peminatan Ilmu-Ilmu Bahasa dan Budaya. Setelah melalui serangkaian tes akademik, wawancara, dan pengisian angket peminatan, kebanyakan siswa lebih memilih pada peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam. Akibatnya adalah guru-guru MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) kelebihan jam mengajar sementara guru kelompok IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) kekurangan jam mengajar.
Beban guru yang melebihi dari 24 jam mengajar akan berdampak pada kurangnya kualitas layanan guru kepada peserta didik baik secara individu maupun kelompok. Sementara guru kelompok IPS yang kekurangan beban mengajar akan menjadi persoalan dalam syarat penerima tunjangan sertifikasi.
Kedua, pemilihan mata pelajaran (mapel) lintas minat. Masalah pelik bagi sekolah adalah ketika peserta didik tersebar pada semua mapel lintas minat. Bagi sekolah dengan ruang kelas yang minim tentu tidak dapat menampung rombongan belajar (rombel) setiap mapel lintas minat. Sekolah dalam kondisi minim ruang kelas dan kekurangan guru biasanya diantisipasi dengan cara pemilihan mapel lintas minat secara terbatas. Namun cara ini membatasi hak peserta didik untuk memilih mapel yang sesuai dengan minatnya.
Masalah lain terkait dengan peserta didik pindahan. Pilihan mapel lintas minat yang tidak sesuai dengan pilihan mapel di sekolah yang dituju dapat menimbulkan masalah psikogis bagi siswa pindahan.
Ketiga, banyak sekolah yang tidak siap memenuhi guru yang mengampu mapel Prakarya dan Kewirausahaan. Keberatan pihak sekolah dalam menyediakan guru yang sesuai dengan kompetensi menyebabkan pembelajaran mapel ini asal-asalan dan tidak mengacu pada tujuan. Padahal mapel Prakarya dan Kewirausahaandilaksanakan sebagai pendidikan formal namun mengharapkan tujuan akhir untuk menghasilkan kualitas manusia yang mempunyai keterampilan ekonomis dan wawasan penciptaan berbasis pasar.
Keempat, pelaksanaan ekskul wajib pramuka terkendala pada ketersediaan pembina pramuka. Anggota pramuka dalam jumlah besar membutuhkan pembina yang tidak sedikit. Rasio pembina pramuka dan peserta didik (1 : 32) tidak dapat dipenuhi sekolah disebabkan tidak semua guru memiliki kecakapan dalam bidang ini. Alhasil ekskul ini berjalan apa adanya.
Disamping permasalahan kurangnya kompetensi guru di dalam menerapkan metode pembelajaran dengan pendekatan sainstifik sebagai akibat guru belum mengikuti sosialisasi dan pelatihan K-13, keempat permasalahan kegagapan sekolah sasaran tidaklah dipandang sebagai persoalan sederhana. Waktu yang relatif singkat menjelang implementasi K-13 memang berpotensi munculnya berbagai kelemahan di sana-sini. Oleh karena itu, pihak sekolah sudah mulai merancang persiapan matang yang diawali dengan perekrutan peserta didik baru. Sistem penerimaan peserta didik baru harus disesuaikan dengan daya tampung sekolah dan ketersediaan guru. Tidak kalah penting adalah pemenuhan sarana dan prasarana sekolah karena turut menentukan keberhasilan implementasi K-13.
Pelatihan guru yang saat ini sedang digelar oleh pemerintah diharapkan bukan pelatihan yang sekedar menyelesaikan program kejar tayang alias cepat selesai, tetapi menjadi sebuah pelatihan yang mampu mengubah mindset guru dan sekaligus meningkatkan kompetensi guru sebagai tenaga profesional di era global ini. Selepas mengikuti pelatihan guru harus mampu mendesiminasi dan mentransfer ilmu yang sama kepada rekan sesama guru.
Akhirnya, implementasi K-13 yang dicanangkan pemerintah secara serempak di seluruh sekolah pada tahun pelajaran 2014/2015 dapat diwujudkan guna menyiapkan generasi emas tahun 2045. ( wk Tim /2 Ramadhan 1435 H).

0 komentar: