WK-Brand Logo

Jumat, 13 Juni 2014

KISAH NYATA : Ayah.. Kekasih Gelap..

putri cantik kayong utara

Dibawah pohon rindang terlihat panorama Pulau diseberang pantai dan gulungan ombak yang menyisakan buih, dedaunan kering berjatuhan berserakan dibibir pantai, Lia terdiam kucoba menawarkan sebotol minuman, sambil ia menenggak lalu Lia mulai membuka kisahnya.

“  entah kenapa dari kecil nasibku kurang baik, aku dilahirkan disebuah desa kecil kaki gunung sindoro, dari seorang ibu sederhana, buruh tani desa disawah-sawah orang mencari upah,  kami dilahirkan kembar, saudri lina ku  terlahir sehat, sementara aku harus dirawat dirumah sakit, orang tuaku hampir tak mampu membiayai pengobatan yg mahal, ditambah kala itu krisis moneter awal terjadi , kata ibu asuhku keadaanku sangat memprihatinkan waktu itu, terlahir dengan besar badan yang tak lebih dari kepalan tangan orang dewasa, karena ibu tiriku merasa iba dan kebetulan tidak mempunyai anak maka dia meminta untuk mengasuhku, 1 tahun berlalu keadaanku mulai membaik sehat walau memang badanku tak cepat tumbuh, ibu asuhku sangat senang melihat aku yang lucu kecil bagai boneka , lebih cantik dari Barbie katanya.

Tepatnya kelas 2 SD diusia ke 10 tahun pernikahan pak Beny Bapak asuhku dan ibu asuhku, entah apa yang terjadi aku pun kurang begitu tau waktu itu, ibu asuhku memutuskan untuk bercerai denganya. Hari demi Hari kami lalui berdua dengan Pak Beny selam 1 tahun, toko, mobil dan harta yang lain mulai habis,  ibu asuhku yang meminta bagian harta dan lain sebagainya, akhirnya pak Beny memutuskan untuk pergi bekerja diluar negeri menjadi sopir taxy.

Aku dititpkan dirumah nenek asuhku, semua kasih sayang dicurahkan, aku bahagia meski ada yang kurang, keluarga kami yang dulunya damai kini terpisah perceraian, ibu asuhku tak pernah terlihat lagi semenjak pergi dengan suami barunya, pak Beny di tanah Arab tak pernah kembali, hanya terdengar suara telpon seminggu sekali saat weekend dan cuti, bercerita berbagi dan berjanji memberikan mainan ini dan itu, dan bahkan sampai pulsa habis, telpon mati kadang aku masih bercerita sendiri sementara diujung telpon pak Beny sudah  tidak lagi mendengarnya, aku menangis merengek ingin mendengarkan cerita bapak dan melepas kerinduan, akan tetapi biaya telpon dari Indonesia ke tanah Arab sangat mahal, dengan susah payah nenek asuh membujuku membelikkan jajan untuk sejenak bisa terlupakan, setiap hari nenek menyiapkan peralatan sekolah, memandikan dan menghantarku ke sekolah, sabar menunggu di kantin depan sekolah hingga aku pulang, menyanding dan menggenggam erat tangan ku supaya tetap berjalan ditepian, setelah kelas 6 SD aku sudah tidak mau lagi di hantar dan ditunggu sampai pulang, aku kasihan pada nenek yang semakin tua , untuk berjalan saja  sudah mulai susah, aku lebih memilih pulang bersama teman-teman sebaya.

Usia nenek semakin tua sakit-sakitan pula akhirnya di usia kelas 2 SMP ku, beliau dipanggil yang kuasa, hal itu adalah hal yang tak terlupakan, lengkap sudah penderitaanku, pernikahan damai terpecah perceraian, sementara nenek satu-satunya yang ku sayang harus  pulang ke rumah Tuhan. Dan aku akhirnya sendiri, terasa sunyi dirumah tiada kawan dan teman berbagi lagi. “ air mata Lia meleleh kembali ombak pantai makin keras menghujam pesisirnya. Sejenak menengguk minuman yang ku berikan. Lia berhenti bercerita tentang masa lalunya, kemudian mengambil HP disaku celana dan menuliskan pesan untuk pak Beny. “Kapan pak Beny Pulang? Lia rindu bapak, 9 tahun sudah kita terpisah, Lia Sekarang dikalimantan mencoba merantau mencari masa depan”.

HP kembali dimasukan saku, Lia pun mengajak pulang, aku tau kenapa Lia membuat jeda dari cerita panjangnya, mungkin malas untuk bercerita lebih lanjut tentang kisah hidupnya, aku masih menunggu cerita selanjutnya karena pokok cerita yg mau ku dengar bukan yang itu. Kucoba menghibur, dan membujuk untuk cerita berikutnya, dengan malas sambil kaki tak tenang mendorong-dorong daun kering dibawah kami duduk. Pelan Lia meneruskan kata demi kata “setelah nenek tiada, aku bingung, harus bagaimana, akhirnya bapak kandungku menyarankan aku untuk pulang kerumah, awalnya aku enggan, karena dari bayi keluarga yang ku tau adalah ibu angkat, pak Beny dan nenek saja. Akan tetapi karena tidak ada pilihan yang lebih baik, aku pun mencoba untuk pulang, bertemu keluarga baru, mbak ku Ella sudah sekolah 3 SMU, senyuman dan paras rupawan yg membuatku semakin akrab bercengkrama, ditambah lagi lina, Fiza dan si Iki menghibur dan meyakinkan bahwa mereka adalah saudara-saudara kandungku yg sebenarnya. Aku pun mulai betah dirumah kecil itu, tapi sayang  Ibu kandungku pergi bekerja menjadi TKW dimalaysia beberapa bulan silam, bapak ku seorang sopir yang kadang pulang malam.

Sebuah keadaan yg begitu berbeda dengan keluarga lamaku, meliihat mbak Ella yang begitu menyayangi Iki yang kala itu baru berumur dua tahun, menggendong dan membuatkan susu, menidurkan , hingga mengerjakan semua urusan rumah tangga, aku pun menawarka diri untuk membantu tapi kadang mbak Ella tidak memperbolehkanya, “gak usah, biarlah pakaian kotor dan piring-piring itu nanti mbak yang mencucinya saja” kata mbak Ella. Tapi aku selalu berusaha membantu walau dengan fisik yang tak lebih dari anak usia kelas 4 SD. waktu berlalu tak lama kemudia mbak Ella lulus SMU, dan akhirnya Mbak Ella pergi bekerja dipabrik kayu Lapis yang tidak memungkinkan untuk Pulang tiap hari, dan tinggalah aku dan Lina yang merawat adik-adik dirumah, sementara bapak lebih sering hidup diterminal sambil menunggu penumpang atau sejenak minum-minum sampai pagi dan malam kembali.”

Lia kembali mendesah , aku mulai melontarkan pertanyaan, “Terus pak Pur ga pernah pulang, memberi nafkah misalnya?, “ Lia pun menjawab, “ Ya kadang-kadang, makanan juga sering dikasih nenekya Lina,” terus apa saja kegiatan pak Pur sebenarnya?” tanyaku cepat. “itulah mas, bapak bergaul dikalangan orang-orang jalanan, sopir-sopir terminal, kadang pulang malam pakaian lusut, rambut acak-acakan berjalan tergopoh-gopoh pengaruh minuman beralkohol.

Benci kalau aku melihat keadaan itu” kata Lia. Dari ekspresi kebencian itu aku coba menangkap, kelanjutan ceritanya, ku coba bertanya dan member opini kembali “biasanya kalau orang mabuk, berbicara, dan berbuat hal yang tidak wajar bukan ???!, “itulah yang membuat aku benci” desak ku lagi “Kenapa?”, sejenak Lia terdiam, ku ulangi lagi bertanya “kenapa Lia benci keadaan itu ?”. dia lalu menjawab, “bapak sering memukul Lina , padahal hanya kesalahan kecil saja.” Ku Tanya kembali . “apakah Lia juga pernah kena Pukul pak Pur?” “iya ..pernah “ sambil menunduk lalu memalingkan muka, kuberanikan bertanya tentang hal yang intim dengan bahasa yang pelan “apakah pak Pur pernah misalnya tidur dengan Lia, Fiza, dan Iki saat dirumah?, “ Lia pun mulai gugup menjawab “Pernah”  Lia menjawab hanya sepatah kata saja.

Dari hal itu sudah ada ttitik jelas apa yang ingin ku ketahui selangkah akan segera terjawab.  “sekarang ceritakan hubungan Lia dengan pak Pur sejujur-jujurnya tanpa ada yang dikurangi, aku siap mendengarkan dan membantu sebisa mungkin, “ya kan kamu sudah tau semua, dari pertanyaan-pertanyaan yang kamu lontarkan buatku dari semenjak kita duduk ditepi pantai ini pun aku sudah faham,” jawab Lia enggan meneruskan cerita. “tapi kalau tidak mendengar langsung, bagaimana aku bisa membantu?” jawabku sedikit memaksa, dan akhirnya Lia pun bercerita.

“semua berawal pada suatu malam, gerimis dan langit berselimut kabut, hingga tiada satu rumah tetangga pun yang Nampak, aku tidur diluar didepan ruang TV, karena memang rumah itu kecil, Cuma ada 2 kamar, kamar 1 biasa buat tidur kami, mbak Ella, Lina dan Aku, kamar yang 1 buat tidur bapak kalau pas dirumah, Adik-adik lebih memilih tidur diluar kalau ada bapak, akupun merasa kasihan melihat adik-adik tidur diluar, akhirnya aku keluar sambil membawa selimut dan tidur dengan mereka, entah setan apa yang berbisik pada diri bapak, ia pun bangun melihat keadaan diluar, dikala adik-adik tidur lelap, berselimut tebal dicuaca hujan yang dingin, bapak pun beralih keluar tepat disamping dimana aku berbaring, pertama bapak memeluku, aku fikir pelukan sayang, karena selama ini mungkin dari bayi juga tidak pernah memeluk anak kandungnya sendiri, tapi lama-lama bukan hanya memeluk, akan tetapi tanganya mulai bergerak menyelinap kedalam kaos longgar yang aku pakai, dan pelan merayap kesemua arah, aku sadar ini bukan pelukan sayang seorang bapak lagi, aku mulai mengelak, memaksa melepaskan diri, akan tetapi karena fisikku yang kecil, tak mampu melawan dekapan bapak.

” Lia pun menangis terisak –isak dipelukanku, aku coba menenangkan dan berkata kembali, “ ceritakan saja untuk mengurangi beban yg selama ini dipendam,”. Lia pun melepaskan diri dari pelukanku dan kembali bercerita “malam itu bapak menodaiku, merusaku, aku hanya bisa menangis tak bisa berbuat apa-apa , mulutku dibekap, rintihanku pun tak terdengar oleh yang lain, ditambah suara rintik hujan yang semakin lebat. Hingga hampir subuh aku dinodai entah sudah sampai berapa kali aku tidak ingat dan berusaha melupakan walau tak pernah dapat, waktu itu aku masih kecil usia kelas 2 SMP dengan fisik yang mungil, ke esokan harinya aku sakit sampai berhari-hari, tapi aku hanya diam saja, bapak juga mengintimidasi aku, katanya “kalau aku sampai bilang-bilang ke orang bapak akan membunuhku” aku pun takut, karena bapak memang kejam terhadap anak-anaknya, dan mulai hari itulah bapak sering meniduriku, aku tak bisa bilang kesiapa-siapa, HP ku disita mulai saat itu, SMS ke pak Beny harus minta izin dibawah pengawasanya, tidak ada yang tau kejadian itu kecuali kamu. “ beberapa kali aku telat menstruasi, dan bapak selalu memberikan PIL, entah jenis apa itu, dan akhirnya kembali menstruasi, aku sangat takut sebenarnya, malu juga untuk cerita. Sekian tahun kulalui, aku terbiasa menikmati dosa yang penuh luka.”

Lia pun kembali menangis, aku tak mampu lagi bertanya banyak hal. Hari mulai gelap,hanya buih-buih ombak pantai yang terlihat, aku segera mengajaknya pulang kerumah, Lia pun berkemas, motor hidup dan kami bergegas, ditengah perjalanan Lia bercerita kembali, “Aku telah menemukan syurga di tanah bertuah ini,  sebisa mungkin aku kan bertahan dan bisa menemukan hidup baru, hidup yang tanpa paksaan dan kekangan, aku bisa lepas dari neraka yang selama ini kutinggali, tolong selamatkan jiwaku,” sambil mengangguk aku pun setuju.

Beberapa hari kemudian Pak Pur menelphone Lia yang initinya Lia harus Pulang, dia telah menggila, merusak rumah orang dan dipenjarakan sementara, setelah pulang dari penjara ia kembali meneror, kalau Lia  tidak Pulang maka Fiza dan Iki yang akan jadi korbanya, aku pun menyarankan “kita lapor ke fihak berwajib saja perihal ini, kawanku juga sudah memberikan jalan untuk menemui KPAID,” akan tetapi Lia menolak dengan berbagi pertimbangan, Malu juga memikirkan nasib adik-adiknya yang masih kecil. Dan akhirnya pada suatu hari ketika aku ada sebuah pekerjaan di daerah pedalaman yang memaksaku menginap selama 4 hari, Lia pun pergi ke sebuah Bandara pusat kota dengan meninggalkan pesan singkat yang dikirimkanya, “mas, aku terpaksa pulang, dengan berbagai pertimbangan, aku tidak mau menjadi beban kalian, beban pak dhe , mak dhe yang tiap hari melihat aku sedih menangis selepas ditelphone bapak, kecuali itu aku tidak rela kalau Fiza yang mulai besar menjadi korban kekejian bapak seperti aku kala itu , biarlah bapak menikmatiku, maafkan aku “.

Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi kecuali rasa kasihan dan berdo’a semoga Lia sehat dan diberikan jalan keluar yang terbaik atas jalan hidupnya yang berliku. ( RD/14 Juni 2014).

0 komentar: