WK-Brand Logo

Rabu, 26 Februari 2014

Ketika Demokrasi Ternodai

DPR tidur saat Sidang WK KalbarOleh: Redaksi WK


Ketika demokrasi menjadi pilihan pendiri negeri, banyak memuji ini pilihan sejati. Ada pula yang bilang, ini petaka. Bahkan ada diantaranya harus mengangkat senjata, ingin lepas dari NKRI.


Para petinggi di parlemen, kemaren. Jarak antara mereka dengan masyarakat terasa begitu jauh. Pintu rumah mereka terbuka, seakan hanya untuk koleganya saja, tidak untuk rakyat jelata. Hari ini, mereke terasa dekat dan bersahabat, begitu peduli dan penuh perhatian. Entah esok setelah mereka terpilih lagi?


Petinggi di parlemen kemaren. Mereka sibuk kesana-kemari, kunjungan kerja atau bertamasya? Hari ini mereka sibuk mencari massa. Di ruang sidang, mereka bersuara lantang membela rakyat. Di ruang komisi, mereka sibuk mengatur strategi. Di ruang fraksi, mereka sibuk mengumpulkan upeti. Kendati tak semuanya demikian.


Ongkos demokrasi sungguhlah mahal. Banyak yang mengatakan, ini konsensus dan konsekuensi demokrasi. Tetapi ketika demokrasi melahirkan generasi yang korupsi. Mereka mengatakan, “Ini negara hukum, biarlah hukum yang menentukan.” Kendati itu tak setimpal.


Demokrasi tak mengenal nurani lagi. Memperoleh kedudukan, suara pun dibeli. Pendidikan politik hanya retorika semata. Etika politik pengantar tidur saja. Saat pemilu mereka begitu dekat dengan mayarakat. Setelah itu, mereka menghianati amanat rakyat.


Pemilu hanyalah pesta lima tahunan. Orang-orang bilang, itu Pesta Demokrasi. Ada berpendapat, itu Pestanya Rakyat. Tapi ada yang melihat, itu pestanya para penghianat. Silih berganti, pemimpin datang dan pergi. Namun masyarakat hanya bisa menikmati janji. Disana-sini kemiskinan menjadi-jadi. Busung lapar jadi penyakit anak negeri.


Ketika pemilu melahirkan pemimpin dan wakil rakyat, semua harapan tertuju padanya. Kelak akan lahir kebijakan yang pro rakyat. Akan lahir pemimpin yang merakyat. Namun ketika jabatan menjanjikan kenikmatan, semua berubah. Habis manis sepah dibuang.


Para petinggi negeri berlomba-lomba memperkaya diri. Mereka membangun istana, menimbun harta atau mempertahankan tahta. Membangun dinasti – menjadi pelaku politik atau pelaku proyek. Masyarakat hanya menjadi objek.


Inilah demokrasi yang menorehkan petaka. Semua berjalan seirama seperti budaya. Semua terasa serasi seperti penonton dan penari. Tak ada yang mampu membantah. Berjuta slogan mengaum lantang ke pelosok negeri. Gaung restorasi, perubahan memantak telinga.


Namun, tak ada yang bisa dirubah dari pendatang baru pemain lama. Tak ada yang dapat diperbaiki dari penegak hukum yang bermain hukum. Tak ada restorasi dari sistem politik yang memandang uang adalah segalanya. Tak ada yang akan berganti dari pemimpin yang sibuk memperkaya diri. Kecuali mereka yang memiliki kesungguhan – memiliki niat baik dan ikhlas.


Slogan hanyalah kalimat pengembira. Slogan hanyalah slonsong peluru. Setelah peluru terpakai untuk mengekskusi rakyat, mereka pun kabur seperti teroris.


Politik emang seperti magnet. Menarik untuk dibicarakan, menarik bagi pencari kesempatan. Berbagai strategi pun dimainkan politisi. Mulai dari strategi baik-baik, hingga strategi berbaik-baik. Tak memiliki nilai jual, cukup jadi pembeli suara.


Para ulama pun banyak yang terbeli. Di depan publik mereka bilang tak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Namun dibalik semua itu, keberpihakan mereka sangat jelas kemana. Tepatnya, dihabitatnya, tempat dimana ia dibesarkan. Berpolitik praktis mereka enggan, praktis berpolitik jelas mereka lakukan.


Pribasa popular mengatakan, “Maju tak gentar membela yang bayar”. Ingin berkuasa yang penting uang. Ingin punya nama yang penting garang.


Ditengah himpitan ekonomi yang membelit masyarakat teri, para politisi sibuk bertamasya kesana kemari. Tak ada tempat lagi di dalam negeri, ke luar negeri. Tak perlu bicara hasil, yang penting hepi. Mestinya kunjungan kerja membuahkan karya, bukan untuk berpoya-poya.


Inilah potret demokrasi kita. Parpol tumbuh subur seperti jamur. Tak terlalu penting masyarakat binggung, yang terpenting ambisi kekuasaan dapat terkabul.


Awalnya penulis menduga bahwa bendera itu simbol negara, panji ormas atau partai. Belakang kita melihat berubah fungsi menjadi simbol pribadi. Sekarang sulit bagi kita membedakan, apakah bendera itu simbol partai atau simbol keangkuhan diri. Sebab, dilembaran berdera terselip nama.


Sulit bagi kita sekarang membedakan, yang mana benar dan mana salah. Yang benar hanyalah, “Peraturan di buat hanya untuk dilanggar”. Etika pemilu hanyalah pemanis kata. Pelanggaran pemilu menjadi budaya. Pendidikan politik hanyalah cerita. Saat hak politiknya ditilang, ia bersuara lantang. Namun ketika praktik politiknya melanggar etika, ia pura-pura tutup mata dan telinga.


Inilah demokrasi kita, semua kita masuk dalam perangkapnya. Ketika kita tak paham politik, siap-siap dipolitisir. Ketika kita tak punya taring, siap-siap dijaring. Ketika kita beda pendapat dengan penguasa, siap-siap menerima cerca dan siksa.


Apakah diam itu solusi, atau bersuara itu petaka? Atau menyampaikan kebenaran itu salah, dan membenarkan yang salah benar? Pertanyaan yang mesti terjawab dengan jujur.

0 komentar: