WK-Brand Logo

Kamis, 01 Mei 2014

Politik Uang, Siapa yang Salah?

nyucok


Oleh: Hasanan


Perhelatan demokrasi 9 April 2014 telah usai. Kedati Komosi Pemilihan Umum (KPU) belum rapat pleno menetapkan kemenangan bagi Partai Politik atau Calon Legislatif (Caleg), namun kemengan tersebut telah terkuak dari hasil hitungan cepat (quick count) para relawan politik. Caleg yang telah meraih kemengan, menebar senyum penuh kegembiraan, menyambut euphoria kemenangannya dengan dada terbuka. Caleg yang tidak lolos perhitungan kursi legislatif, hanya bisa meratap dan tersenyum kecut, atau bahkan harus berurusan dengan psikiater dan rumah sakit jiwa.


Setiap pertandingan tentu akan melahirkan pemenang, dan pasti ada yang menyandang predikat kalah. Inilah dunia politik, dunia demokrasi. Apapun hasilnya, itulah kenyataan yang harus kita terima. Kita tak perlu bicara kecurangan. Siapapun pemenangnya, “Mereka adalah putra-putri terbaik bangsa”. Itulah kalimat pamungkas yang disematkan orang-orang yang memperoleh keuntungan. Kebenaran akan kalah ketika sedikit pengikutnya. Kezaliman akan menang ketika banyak pengikutnya. Sebab kita sedang berada di dunia yang bernama “Demokrasi”.


Bukan saatnya kita bicara etika dan pendidikan politik. Bukan jamannya kita bicara halal-haram politik uang. Bukan dunianya kita harus mematuhi aturan. Fatwa haram politik uang pun sudah diplesetkan. Saat ini, sulit kita temui ulama yang berani berperang melawan politik uang, yang ada malah sebaliknya. Maka pantaslah masayarakat hari ini kehilangan panutan.


Lebih miris lagi. Mereka yang berstatus sebagai Tokoh Agama, Ustadz atau Kiyai tak segan-segan mengucapkan kalimat yang tak pantas demi pembenaran politik uang. Kalimat-kalimat kotor pun lepas tanpa rasa malu demi uang. Fatwa mereka, “Jangan terjun ke politik jika tak punya uang.” Suatu kalimat pembenaran yang telah dipopularkan.


Bagi sebagian politisi, Pemilu dipandang momen untuk bermanifestasi memperoleh kekuasaan. Bagi sebagian masyarakat pun, Pemilu hanya dipandang suatu kesempatan untuk meraup keuntungan. Mestipun itu hanya sesaat. Sebab bagi masyarakat, di musim pemilulah mereka bisa mencicipi uang wakil mereka. Selepas itu mereka (politisi) pergi dengan mengubur janji.


Kita tidak menampik bahwa mesin politik itu perlu uang. Media kampanye, tim sukses, saksi dan mobilisasi politik lainnya, semua butuh uang. Namun bukan berarti uang adalah segalanya. Sehingga segala sesuatu harus diukur dengan uang. Suara pun harus dibeli dengan iming-iming uang atau barang.


Melihat fenomena ini, secara sederhana penulis mencoba mengunggkap karakter atau tipe pemilih dan politisi sekarang, dengan kondisi politik yang berkembang saat ini. Perbedaannya sangat signifikan dibanding Pemilu sebelumnya.


TIPE CALON


Tak bisa ditampik, bahwa sistem itu diciptakan oleh penguasa, baik pemerintah, politisi maupun pengusaha yang memiliki kepentingan didalamnya. Sehingga terbentuk seperti budaya. Bak peraturan yang mengikat kendati tidak tertulis. Namun dampaknya kentara ketika mereka (ekskutif/legsilatif) duduk di kursi kekuasaan. Praktik Politik Dagang Sapi pun terjadi.


Satu dari sekian praktik politik yang telah membudaya di Indonesia. Merupakan warisan Orde Baru (Orba), yang tetap langgeng dipelihara hingga kini, yaitu politik uang (money politic). Aktivitas terakhir dari politik uang kadang disimbolkan dengan ‘Seragan Fajar’, yang lazim dilakukann pada masa tenang.


Apapun budaya politik yang terjadi hari ini, itu tidak terlepas dari prilaku politisi di masa lampau. Sehingga, laksana budaya di dalam lingkungan masyarakat. Kondisi ini memunculkan pendapat baru dalam masyarakat, ‘Jangan mencalon jika tak punya uang’. Uang dianggap penentu segalanya.


Politik uang. Antara calon dan masyarakat, seperti dua sisi mata uang. Mereka saling melengkapi. Calon menciptakan sistem, masyarakat (pemilih) mengembangkannya. Sangat sulit merubah prilaku ini. Andaikan ada calon yang ingin bermain santun dan bersih tanpa diiming-iming materi/uang, konsekuensinya harus siap menerima cemoohan dan kegagalan.


Ada beberapa tipe calon dalam konteks kekinian. Analisa ini dapat kita simpulkan dari prilaku calon dalam menarik impati dan simpati massa atau pendukungnya. Mulai dari melakukan hal-hal yang wajar hingga hal-hal yang tidak wajar.




  1. Tipe Pencuri


Pendekatan Curang dan Intens (Pencuri), ialah model pendekatan calon dengan cara menghujat atau menjelekan calon lain. Melakukan manover-manover negatif terhadap lawan politik. Menjalankan menejemen konflik kepada setiap rival yang dianggap memiliki pengaruh. Cara ini intens ia lakukan agar terbentuk opini, bahwa calon lain (rivalnya) dipandang negatif di mata publik.


Pendekatan ini bisa berhasil, jika yang disampaikan merupakan fakta. Namun tak jarang ini menjadi boomerang buat dirinya sendiri. Sehingga bukan hasil yang ia dapatkan, sebaliknya cacian yang ia tuai.


Cacian atau hujatan tidak akan menciptakan keberpihakan publik, sebaliknya akan menorehkan duka buat keberhasilan kita. Menyampaikan dan mengungkapkan fakta saja harus dengan etika. Jika tidak, maka kita akan menuai celaka.


Cara terbaik dan bermartabat ialah dengan menjual program. Apa visi, misi yang ingin kita bangun, itu yang harus kita sampaikan. Sehingga masyarakat memahami niat dan tujuan yang melatarbelakangi, mengapa kita mencalonkan diri. Berjanji boleh saja, asal terukur – dapat diwujudkan ketika duduk nanti. Terlepas terpilih atau tidak, setidaknya kita telah melakukan hal mulia. Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.




  1. Tipe Capem


Tipe Calon Pebeli Massa (Capem), yaitu medekati massa atau audiensnya dengan uang. Setiap suara pemilih dinilai dengan uang/materi. Semakin tinggi pengaruh pemilih, semakin kencang uang yang dikeluarkan calon. Bagi calon, tak penting bicara soal visi, misi atau program kerja ketika mereka duduk nanti. Yang penting bagaimana ambisinya tercapai.


Uang menjadi tolak ukur keberhasilan calon. Tanpa uang, calon tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, si calon tidak memiliki refutasi, kridibilitas dan intergritas yang baik. Alih-alih mau menang di Pemilu, kepedulian sosialnya saja tidak nampak di masyarakat. Jika tidak ditopang dengan uang, sulit baginya memperoleh kemenangan. Tambah lagi tipe pemilih saat ini yang rakus duit. Jadi, bak gayung bersambut.


Sepertinya, tak ada lagi kesempatan bagi orang-orang yang bermental baik, yang memiliki karakter amanah, jujur, bertanggunng jawab dan dapat dipercaya untuk terjun ke dunia politik. Sepertinya tak ada lagi tempat bagi calon yang tak punya uang, untuk ikut dalam kompetisi Pemilu. Pemenang Pemilu hanya milik orang-orang berduit saja. Semakin banyak uang yang dikeluarkan, semakin tinggi peluang calon untuk menang.


Calon yang berduit saja akan keok jika ia tidak bermain duit. Atau jika ia tidak pandai dalam memenej duit dan memilih tim yang solid. Kerena persaingan politik semakin tahun semakin tak mendidik. Jadi, wajar saja setiap Pemilu menciptakan masyarakat yang tidak terdidik, dan melahirkan pemimpin yang kooperatif dalam kejahatan politik.


Pemilu 2014 saksi nyata, betapa massifnya Pemilu kali ini dibanding sebelumnya. Tanpa rasa bersalah atau melanggar aturan, calon berani secara terang-terangan membagikan uang saat kampanye terbuka. Berani membagikan amplop uang di masa tenang ke rumah-rumah pemilih. Demikian juga dengan pemilih. Sebanyak mungkin calon didatangi demi uang. Tak perlu merasa bersalah atau peduli halal-haram, yang peting uang. Norma, etika dan sufremasi hukum tak berarti lagi.


Sebelum Pemilu (memilih), suara sumbang sering terdengar di masyarakat bahwa calon incumbent A, B dan C tidak baik. Selema ini, apa yang telah mereka perbuat. Apa hasil kerja mereka untuk masyarakat. Proyek aspirasi mereka hanya untuk keuntungan pribadi mereka. Mereka tidak peduli dengan aspirasi masyarakat. Tak peduli dengan keterpurukan dan penderitaan warga. Tak ambil tahu kegiatan sosial. Pintu rumah meraka saja sebelumnya selalu tertup. Bahkan ada diantara meraka dzalim dan penjinah. Demikian keluh masyarakat buat mereka. Namun ketika Pemilu mencatat data perolehan suara, suara merekalah yang paling dominan. Kenapa? Uanglah yang merubah segalanya.




  1. Tipe Santai


Tipe calon yang satu ini tergolong baik. Baginya, mengedepankan pendidikan politik buat masyarakat adalah keniscayaan. Impiannya adalah membangun peradaban baru sesuai tuntunan. Membangun paradigma (kerangka berpikir) masyarakat yang baik dan madani.


Santun, Taat dan Ikhlas (Santai) adalah landasan prinsip perjuangannya. Calon tipe ini merasa malu ketika dia berprilaku tidak sesuai dengan etika dan melanggar norma hukum. Terpilih atau tidak, baginya itu perkara kedua. Yang terpenting, santun dalam bersosialisasi, taat pada ketentuan dan ikhlas dalam berjuang, adalah modal dasar yang mesti dimiliki setiap calon. Sehingga tercipta masyarakat yang patuh dan ikhlas pula dalam mengemban setiap amanat. Indonesia tidak akan bisa Hebat, jika prilaku politisinya tidak Bermartabat.


Tipe Santai, tidak menjadikan uang/materi satu-satunya modal perjuangannya. Namun pendekatan hati ke hati, menjalin silaturrahmi, menawarkan visi, misi dan program kerja menjadi pilihan utamannya. Uang/materi dibutuhkan dalam hal apapun. Namun, bukan berarti semua itu dapat dibeli dengan uang atau ditukar dengan barang. Kebahagian hati, tidak akan dapat dinilai dengan apapun, selain rasa kebersamaan dan keikhlasan.


Memandang uang adalah segalanya, niscaya kita akan diperbudaknya. Sehingga, tak adalah lagi nilai-nilai kesantunan, ketaatan dan keikhlasan dalam sebuah perjuangan. Dan wajar saja ketika terpilih nanti mereka melupakan janji dan cenderung memperkaya diri.


Problematikanya, tipe calon yang Santai hari ini tidak laku dijual di masyarakat. Masyarakat lebih senang menentukan pilihannya kepada calon yang berprilaku sebaliknya. Karena nilai Rp. 50.000,00 menjelang pemilihan misalnya, maka nilai kebaikan dari calon yang berbuat baik kepadanya dan masyarakat, berubah dalam sekejap. Nilai kebaikan kini tak berarti apa-apa, tak bisa dijadikan modal seseorang untuk bisa memperoleh kursi.


Sangat kontras dengan calon yang berkakter Pencuri dan Tapem. Calon yang Santun, Taat dan Ikhlas (Santai), ketika mereka mendapatkan suara dominan atau terpilih, itu karena hati nurani masyarakat yang bicara. Bukan karena uang, bukan karena barang. Bukan pula karena masyarakat telah termakan janji-janji atau pepesan kosong calon. Namun karena ketokohan dan keikhlasan calon dalam melayani, baik sebelum maupun setelah mereka terpilih. Ketika hati yang bicara, keikhlasan akan berbuah keikhlasan pula. Namun nilai keikhlasan saat ini telah langka.


KARAKTER PEMILIH




  1. Karakter Golput


Golput (Golongan Pencari Uang Tunai). Demikian ungkapan Miftahul Huda, yang coba penulis terjemahkan. Pemilih yang memiliki karakter ini bersifat lemah lembut. Kata-katanya sangat meyakinkan. Tapi maaf, jangan langsung percaya. Sebab, karakter Golput mudah berjanji dan mudah pula mengingkari. Setiap calon didatangi, berkomitmen mendukung, dengan harapan mendapatkan imbalan (uang, barang, pekerjaan). Sedapat mungkin setiap calon didatangi untuk dibanding-bandingkan, mana calon yang mampu memberikan imbalan lebih, mana yang tidak. Calon yang mampu memberikan imbalan lebih maka calon tersebut akan intens disambangi. Namun belum tentu pilihannya jatuh pada calon tersebut, jika sang calon tak mampu memenuhi tawaran yang ia usulkan.


Prinsipnya, karakter Golput memandang Pemilu adalah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Sebanyak mungkin calon-calon peserta Pemilu didatangi, terutama calon yang yang berduit tebal. Buat janji, bila perlu bersumpah atau berikrar berjabat tangan dengan calon, untuk meyakinkan calon. Masalah pilihan, tunggu dulu! Itu hak saya, mau memilih atau tidak. Yang penting, uangne piro?


Kadang, karakter Golput mendekati calon atas nama masayarakat. Buat usulan atas nama dan untuk kegiatan kemasyarakatan atau keagamaan. Namun sebenarnya, karakter ini lebih cenderung pada kepentingan pribadi atau kelompoknya. Jika si calon tak terpilih atau tak punya suara di tempatnya, alasannya bisa karena calon tak sosialisasilah, kurang bantuanlah, kurang simpatiklah dan lain-lain. Dalam menggunakan hak pilihnya, karakter Golput cenderung memilih orang yang menguntungkan buatnya atau dianggap mampu membela kepentingannya. Bahkan terkadang ia tidak menggunakan hak pilihnya kepada siapapun.




  1. Karakter Ampibi


Karakter Ampibi (Aliansi Masyarakat Pintar tapi Biadab), biasanya dilakukan oleh orang-orang yang berstatus sosial lebih tinggi dari masyarakat biasa, dengan kata lain ‘Kaum Intelek’. Sesuai dengan namanya “Ampibi”, artinya kaum ini lebih bisa menyesuaikan diri atau dapat hidup dan bergaul dimana pun. Karakternya hampir sama dengan Golput. Bedanya kaum ini lebih dinominasi oleh kaum intelek, para oknum Tokoh Agama, tokoh masyarakat, oknum Ustadz dan Kiyai yang berprinsip bahwa uang adalah segalanya.


Kaum pintar yang merapat dan menyatakan sikap mendukung calon diluar konteks keluarga atau sahabatnya, biasanya memiliki kepentingan terselubung dengan urusan dapurnya. Setidaknya, ketika si calon terpilih dia dapat sejumlah paket proyek. Baginya tak masalah masyarakat yang jadi korban dengan skenario kebohongannya, yang penting tujuannya tercapai. Pintarnya kaum ini, dia merapat ke calon yang berpeluang menang, kemudian mendukung calon-calon yang dianggap kalah dengan skenario menejemen konfliknya. Kadang si calon dan masyarakat tak sadar termasuk kedalam perangkapnya.


Sedangkan oknum ustadz/kiyai yang tergolong dalam karakter Ampibi ini, sangat pandai pula berkamuflase. Tak jarang kita dengar ungkapan mereka, bahwa mereka tak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Sebab mereka milik umat. Artinya si ustadz/kiyai tersebut mengambarkan bahwa dirinya netral. Pada hal kecenderungannya jelas kemana. Berpolitik praktis mereka enggan, namun praktis berpolitik mereka lakukan.


Setiap calon yang datang dan bertanya kepada sang ustadz/kiyai, maka ia akan mendukung dan menyatakan bahwa calon tersebut punya peluang. Merasa tersanjung dan berpeluang menang dari ungkapan seorang ulama, kadang si calon pun tak canggung mengeluarkan sejumlah rupiah buat sang ustadz/kiyai. Bicara hasil/calon terpilih atau tidak, itu nomor seribu!


Dalam menentukan pilihannya, pemilih berkarakter Ampibi lebih cenderung memilih calon yang ia pandang mampu memenuhi atau dapat melayani kepentingannya.




  1. Karakter Capal


Cakap tapi Palsu (Capal), konotasi dari barang yang digunakan sebagai alas kaki. Dalam istilah/tatabahasa Melayu, Capal ialah sandal. Kadang di antara mereka ada juga yang menjadi alas kaki (alat) bagi pemilik kepentingan terselubung, penguasa atau pemilik modal. Mereka juga bisa berperan sebagai mata-mata (spionase) bagi penguasa.


Pemilih yang berkarakter Capal emang terkesan cakap, namun penuh kepalsuan. Karakter Golput dan Ampibi pun banyak yang melekat padanya. Karakter ini di dominasi kaum tanggung (antara berwawasan atau tidak). Kekhasan karakter Capal yaitu dia mengatakan bahwa dia memiliki pengaruh, memiliki pengikut yang siap diarahkan serta dekat dengan orang-orang penting yang siap mendukungnya. Namun semua itu omong kosong belaka. Tujuannya tak lain, hanya mengincar materi dari si calon semata.


Ketika calon yang didekatinya tidak bisa memberikan apa-apa sesuai harapannya, maka pemilik karakter ini akan ngomong ke sana-kemari bahwa si calon tersebut tidak can (tidak bagus/baik) atau pemasin (pelit). Bagi mereka, seorang calon akan baik apabila ia tidak pelit dalam hal uang. Ukuran kebaikan di mata mereka adalah duit. Sangat besar kemungkinan pilihannya akan jatuh pada orang yang mampu memberi duit lebih padanya.




  1. Karakter Kembang


Kembang alias (Kelompok Masyarakat Mengambang), kelompok masyarakat yang sulit dan tidak mudah dalam menentukan hak pilihnya. Alasannya bisa karena belum ada pilihan atau belum ada calon yang mengetarkan hatinya. Baginya bebas mau terbang kemana saja, tanpa harus diikat oleh siapapun.


Karakter ini cenderung di dominasi pemilih pemula, seusia SMA. Pemilih ngambang (Swing Voter), bagi calon atau Partai Politik merupakan pemilih potensial. Angkanya bisa mencapai 30 % dari total jumlah pemilih. Karena pemula, sangat mudah diarahkan. Namun dampaknya, jika tidak diberikan pemahaman dan pendidikan politik yang baik, pemilih ini dapat terbentuk juga seperti karakter pemilih Golput, Ampibi dan Capal.


Tidak hanya pemilih pemula yang masuk dalam karakter Kembang, pemilih dewasa pun banyak juga menjadi bagian darinya. Alasannya bisa kerana ragu atau belum ada pilihan yang pas di hati. Pemilih tipe ini pun sangat besar kemungkinannya dapat dipengaruhi dengan materi. Namun, secara umum, karakter Kembang tidak menjadikan meteri sebagai target utamanya. Ketika ia telah menetapkan pilihannya, ada atau tidak ada uang, pilihannya konsen pada seseorang yang telah berkomitmen padanya. Prinsipnya, diberi calon lain uang/barang ia ambil, tapi pilihannya tetap kepada 1 orang yang berkomitmen padanya.




  1. Karakter Mami


Berbeda dengan karakter sebelumnya, karakter Masyarakat Anti Memilih (Mami), sebagian besar dari mereka anti dengan namanya Pemilu atau Pemilukada. Alasannya bisa karena krisis kepercayaan pada pemimpin saat ini, yang hanya bisa berjanji tanpa bukti. Binggung kerena banyaknya calon. Tidak ada figur yang dianggapnya pantas. Atau, baginya memilih atau tidak, tak ada berpengguruh buat kehidupan dan lingkungannya.


Sebelumnya, Mami biasa disebut dengan Golput (Golongan Putih), alias tidak mau memilih. Tapi Golput sekarang sudah berubah makna menjadi Golongan Pencari Uang Tunai. Hmm…. Angka Mami di Indonesia berkisar antara 25 – 30 % saban tahunnya.


Mami tidak terlalu terpengaruh dengan materi. Bahkan ada diantara mereka tidak sudi menerima uang politik dan membenci politik uang. Ada juga diantaranya menerima jika diberi, namun soal pilihan, ia tidak akan memilih siapapun diantara calon yang ikut kompetisi. Dibanding Golput, Ampibi dan Capal, karakter Mami jauh lebih baik.




  1. Karakter Supi


Karakter yang satu ini lebih istimewa dibanding karakter sebelumnya. Setia dan Utuh Pilihannya (Supi). Tidak ingkar janji. Uang atau materi tidak menjadi tolak ukur bagi kaum ini. Mereka memilih karena hati atau ideologi.


Karakter Supi dibedakan menjadi dua. Pertama, memilih karena fanatik partai atau idiologi partai. Karakter ini biasanya dimiliki pengurus dan kader partai. Atau simpatisan fanatik karena ideologi partai. Tak perduli siapapun figur calon yang dipasang partai idolanya, kecintaan ia pada partai tak mampu dirubah oleh ideologi partai apapun. Tak memilih calon yang dipasang partai, cukup memilih partainya.


Kedua, memilih karena melihat figur calon. Pemilih tipe ini tidak memadang dari mana atau partai apa yang menggusung calon idolanya. Mereka tidak peduli dengan ediologi dan azas partai yang menggusung calon. Namun ketokohan dan karakter calon menjadi penentu pilihannya.


Namun, kondisi Supi lama kelamaan pun tergerus dan terpengaruh keadaan yang tak bersahabat. Banyak yang tak mampu bertahan karena bujukan uang, materi, jabatan atau akibat kampanye hitam para politisi hitam. Mereka (para politisi) seakan tak rela ada orang baik yang memegang teguh prinsip kebaikannya. Berbagai upaya dilancarkan untuk mempengaruhi pemilih tersebut, mulai dari tawaran materi hingga intimidasi. Senang melihat orang jahat, jahat melihat orang senang.



*****


Massifnya politik dewasa ini membuat sebagian politisi yang gagal, mengurungkan niatnya untuk maju di Pemilu 2019 mendatang. Kondisi masyarakat yang memandang uang adalah segalanya, tentu menuntut seorang calon harus mempersiapkan diri dan modal yang cukup untuk bertarung.


Terbukti, setiap calon yang datang atau bersosialisasi di sambut masyarakat dengan baik. Bahkan ada diantaranya menyambut dengan acara pesta (suguhan kesenian dan jamuan makan). Janji-janji akan mendukung pun mengalir kepada calon yang datang bersosialisasi. Sehingga si calon merasa tersanjung. Tak sadar, sejumlah uang pun mengalir di tempat tersebut, demi memenuhi keinginan masyarakat, yang katanya siap mendukung calon. Yang mengejutkan calon, saat pemilihan dan penghitungan suara di TPS atau di Desa tersebut, suara calon yang telah berkorban tersebut sangat minim, bahkan di TPS binaannya pun suara si calon tidak ada sama sekali. Terlalu… “Kata bung Rhoma Irama.”


Nilai kebaikan, kepedulian sosial, kepekaan terhadap penderitaan sesama atau kebaikan apapun yang dilakukan seseorang atau calon, tidak akan berarti apa-apa jika mereka tak punya uang. Semantap apapun janji, komitmen atau ikrar antara pemilih dengan calon yang tidak bermodal, akan berubah pada masa H-2, H-1. Masyarakat lebih cenderung memilih apa yang ia lihat dan rasakan saat itu. Nilai kebaikan di mata masyarakat tak lebih dari rupiah yang ia terima menjelang pencoblosan. Setelah itu, masa bodoh jika si calon terpilih tak ingat lagi dengan mereka, tak mendengarkan aspirasi mereka. Nilai Rp. 50 ribu yang mereka terima, seperti kompensasi untuk jabatan dewan selama 5 tahun.


Dalam politik, kita cenderung mengikat dan menghukum pencuri-pencuri kecil. Sementara, pencuri-pencuri besar kita biarkan berkeliaran dan menduduki jabatan penting di ekskutif dan legislatif. Bukan politiknya yang kejam, namun pelaku politiknya yang tidak bermoral. Bukan demokrasinya yang salah, namun pemainnya yang membuat sistem tersebut menjadi tidak mendidik.


Orang-orang baik tidak kita berikan kesempatan memiliki jabatan, baik di ekskutif maupun legislatif. Sementara, orang-orang yang telah kita ketahui bobroknya moral mereka, malah kita dukung mereka untuk menduduki posisi tersebut. Apakah ini pertanda kehancuran moralitas kita? Jika demikian, siapa yang salah, pemimpin atau masyarakat?


Ingat! Pemimpin itu lahir dari masyarakat. Masyarakat yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik. Masyarakat yang tidak baik (memilih karena uang/materi), maka akan melahirkan pemimpin tidak baik pula, pemimpin yang hanya berorentasi pada materi/uang. Jangan salahkan mereka (pemimpin) ketika mereka duduk lupa dengan kita, korupsi dan melakukan perbuatan yang tidak pantas. Sebab kitalah yang telah menyetujui mereka untuk melakukan itu. Sebaliknya, pemimpin pula yang meciptakan sistem ini tetap langgeng dipelihara masyarakat.


Mengejutkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil survey mereka tentang Pemilu 2014, bahwa 70,2 % masyarakat Indonesia memadang politik uang itu tidak masalah atau hal yang biasa-biasa saja. Kemudian, lebih dari 60 % dari mereka tidak mengetahui dampak dari politi uang tersebut. Wajar saja kondisi masyarakat saat ini lebih massif di banding Pemilu 2009. Pantas pula, korupsi sangat sulit diberatas. Sebab, antara pemimpin dan masyarakat, masyarakat dan pemimpin memiliki karakter yang sama.


Sementara orang-orang baik sangat sulit masuk ke parlemen. Adapun orang baik yang masuk parlemen, jumlah mereka sedikit sekali, tak akan mampu membawa perubahan. Mereka berhadapan dengan sistem yang sulit mereka taklukan. Bahkan tak jarang, banyak diantara mereka harus mengubur idealisme mereka, kerena tak mampu bertahan atau karena tergiur uang tambahan atau jabatan.


Mahalnya ongkos politik tak sebanding dengan hasil yang di dapat calon. Tak ada pilihan lain, selain kong kalikong setelah mereka duduk di parlemen. Siapa yang berani menjamin bahwa dewan yang terpilih saat ini akan bekerja sesuai amanat. Tak ada jaminan, bahwa partai yang menggaungkan Restorasi, Perubahan, Indonesia Hebat dan sebagainya, kader partainya mampu mengimplementasikan gaung tersebut ketika mereka duduk di parlemen nanti. Kecuali mereka yang masih memiliki nurani, kepatuhan dan keikhlasan. Mereka akan konsisten dan komit melakukan perubahan, kendati saat kampanye mereka mengeluarkan uang besar.


Benar, Indonesia Negara Demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang mengidap penyakit. Betul demokrasi telah memberikan kebebasan kita untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun, sistemnya membelenggu dan menciptakan masyarakat yang praghmatis dan apatis. Logikanya, akan sulit melakukan perubahan dari pelaku politik yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Akan sulit menata kembali (restorasi), atau menyembuhkan penyakit birokrasi dan demokrasi yang mengidap penyakit akut disemua sendi-sendi kehidupan. Kecuali lahir satu generasi yang terbebas dari virus-virus demokrasi tersebut.


Kita lihat di televisi hari ini. Segenap pelosok negeri berbicara tentang kecurangan Pemilu. Ada calon yang berani dan terang-terangan membagikan uang saat kampanye terbuka. Ada yang membagikan uang pada masa tenang (H-2, H-1). Ada pemilih yang melakukan pencoblosan terbuka secara berjamaah bersama anak-anak, satu suara dinilai Rp. 100.000,00 oleh calon tertentu. Ada juga pemilih yang mendokumentasikan pilihannya, setelah itu lapor ke calon untuk mendapatkan sejumlah uang. Ada penyelenggara pemilu (KPPS, PPS, PPK) yang memanifulasi data Pemilu, sehingga terjadi pengelembungan suara kepada calon tertentu demi uang. Terjadi pula Panwaslu dan Bawaslu yang tidak melaksanakan perannya sebagai pengawas Pemilu, namun bersekongkol melakukan kejahatan Pemilu. Dan beragam pelanggaran lainnya menghiasi demokrasi Indonesia hari ini.


Indonesia akan hebat, jika pelaku politiknya bermartabat. Indonesia akan jaya jika politisinya beretika. Indonesia akan menjadi Macan Asia, ketika kita bangga dengan hasil karya anak bangsa. Indonesia akan tangguh ketika kita memiliki pemimpin yang patuh. Bangsa ini akan sejahtera ketika kita memiliki pemimpin yang turut merasakan penderitaan rakyatnya. Bukan pemimpin yang rakus kekuasaan. Tidak pula pemimpin yang gila menata tahta. Atau pemimpin yang senang menimbun harta. Dan/atau Pemimpin yang senang memelihara wanita-wanita sebagai selirnya. Jika pemimpin hanya memikirkan harta, tahta dan wanita, maka mereka tidak sempat memikirkan dan mengurusi derita rakyatnya. Namun mengapa, kita masih memberikan kesempatan itu kepada mereka?


Ketika pilihan masyarakat jatuh kepada calon yang jelas-jelas rekam jejaknya kurang baik. Atau calon yang bermental penghianat dan selalu menghianati amanat, tentu ada yang salah dengan semua ini. Ada penyakit yang diidap masyarakat, sebagaimana telah penulis kemukakan di atas. Namun sekali lagi, pilihan itu ada pada kita. Apakah kita senang memelihara penyakit atau ingin sembuh darinya?

0 komentar: